Sabtu, 09 April 2011

Menyoal Penyimpangan Dana BOS

Baru-baru ini Kementerian PendidikanNasional (Kemendiknas) mencoba menerapkan mekanisme baru penyalurandana bantuan operasional sekolah (BOS). Jika semula dana BOS langsungditransfer dari bendahara negara ke rekening sekolah, saat ini daribendahara negara ditransfer terlebih dahulu ke kas Anggaran Pendapatandan Belanja Daerah (APBD), baru diteruskan ke rekening sekolah.
Menurut Kemdiknas, mekanisme baru ini untuk memberikan kewenanganlebih besar kepada pemerintah daerah dalam penyaluran dana BOS. Dengancara ini, diharapkann pula pengelolaan menjadi lebih tepat waktu, tepatjumlah, dan tak ada penyelewengan (Media Indonesia, [15-01]).
Sepintas, tujuan diterapkannya model baru penyaluran dana BOS memangideal dan efektif. Namun yang terjadi kemudian adalah banyaknyaketerlambatan penyaluran karena mekanismenya menjadi penuh liku, yaitudari Kemendiknas melalui kas APBD dana BOS baru ditransfer ke sekolah.Pertanyaannya kemudian, adalah apakah ada jaminan dana BOS tidakdiselewengkan oleh pemerintah daerah (pemda), dengan alasan pemerataan,tetapi senyatanya disalurkan pada kelompok tertentu—yang dulu menjadipendukung ketika pilkada?
Jika dikaji dengan bijak, terobosan Kemendiknas mengenai penyalurandana BOS tidak seluruhnya tepat, tetapi juga tidak sepenuhnya salah.Ada benarnya, karena selama ini ketika dana BOS langsung ditransfer kerekening sekolah, terjadi banyak penyimpangan. Seperti yang terjadipada tahun 2009, di Gunungkidul, Bantul, dan Magelang, dana BOSdiselewengkan. Sebagaimana temuan Badan Pemeriksaan Keuangan RI (BPKRI, 2009) di Gunungkidul, BOS disalurkan secara tidak tepat di 12 SDdan 13 SMP.
Sementara itu, menurut laporan hasil pemeriksaan (LHP) 009 BPK itu,terdapat 48 sekolah yang sampai hati melakukan pungutan liar (pungli)terhadap siswa. Pungutan itu dibedakan menjadi iuran rutin bulananmenyerupai SPP dan iuran sukarela yang dikenakan berdasar kebutuhansekolah dengan model pembayaran diangsur. Ironisnya, jumlah nominaliuran itu tidak membedakan antara siswa dari kalangan miskin dangolongan mampu alias pukul rata.
Berdasar pengakuan para siswa, sekolah berdalih terpaksa menariksumbangan dan pungutan, lantaran dana BOS tidak mencukupi pembiayaanpendidikan. Pengakuan sekolah ini tentu saja sangat kontras; pasalnya,untuk daerah Gunungkidul, selain memperoleh BOS yang bersumber dariPemerintah Pusat tahun 2008, pemkab setempat juga telah memberikansubsidi pendidikan senilai Rp80 ribu hingga Rp180 ribu/siswa/tahun.
Tidak hanya di Gunungkidul, Bantul, dan Magelang, penyelewengan danaBOS juga terjadi di Jakarta. BPK Perwakilan Jakarta, misalnya,menemukan indikasi penyelewengan pengelolaan dana sekolah, terutamadana BOS tahun 2007—2009, sebesar Rp5,7 miliar di tujuh sekolah di DKIJakarta. Sekolah-sekolah tersebut terbukti memanipulasi surat perintahjalan (SPJ) dengan kuitansi fiktif dan kecurangan lain dalam SPJ (MediaIndonesia, [15/01]).
Contoh manipulasi antara lain kuitansi percetakan soal ujian sekolahdi bengkel AC mobil oleh SDN 012 RSBI Rawamangun. SPJ dana BOS sekolahini ternyata menggunakan meterai yang belum berlaku. Bahkan lebih parahlagi, BPK tidak menemukan adanya SPJ dana BOS 2008 karena hilang taktentu rimbanya.
Secara umum, berdasar audit BPK atas pengelolaan dana BOS tahunanggaran 2007 dan semester I 2008 pada 3.237 sekolah sampel di 33provinsi, ditemukan nilai penyimpangan dana BOS lebih kurang Rp28miliar. Penyimpangan terjadi pada 2.054 atau 63,5% dari total sampelsekolah itu. Rata-rata penyimpangan setiap sekolah mencapai Rp13,6juta. Penyimpangan dana BOS yang terungkap, antara lain dalam bentukpemberian bantuan transportasi ke luar negeri, biaya sumbangan PGRI,dan insentif guru PNS.
Periode 2004—2009, kejaksaan dan kepolisian seluruh Indonesia jugaberhasil menindak 33 kasus korupsi terkait dengan dana operasionalsekolah, termasuk BOS. Kerugian negara dari kasus ini lebih kurangRp12,8 miliar. Selain itu, sebanyak 33 saksi yang terdiri dari kepsek,kepala dinas pendidikan, dan pegawai Dinas Pendidikan telah ditetapkansebagai tersangka (Febri Hendri A.A., 2010).
Salah Sasaran
Akibat penyimpangan dana BOS itu, program pendidikan gratis yangdigagas pemerintah belum bisa direalisasikan. Singkatnya, rakyat miskinmasih tetap dikenai beban atas biaya pendidikan anak-anak mereka, ditengah tekanan kebutuhan ekonomi yang semakin mengimpit.
Selain itu, fenomena iuran dan pungutan liar bagi siswa itumengindikasikan adanya ketidaktepatan atau pelaksanaan program BOS yangsalah sasaran. Dengan ketidaktepatan program BOS ini, paling tidak adadua pihak yang dirugikan. Pertama, maksud baik dan tujuan muliapemerintah agar rakyatnya mengenyam pendidikan gratis sekadar impian;lantaran tereliminasinya dana BOS. Kedua, kesempatan rakyat miskinmengenyam pendidikan gratis menjadi hilang, lantaran dana BOSdiselewengkan oknum tertentu, atau tidak disalurkan sebagaimanamestinya.
Padahal, menurut Bambang Sudibyo (2009), program dana BOS ini untukmewujudkan pendidikan dasar gratis 9 tahun. Adapun perincianalokasinya; dana BOS yang berasal dari pemerintah dialokasikan untukmenutupi biaya investasi (pengadaan sarana prasarana) serta biayaoperasional sekolah. Sedangkan untuk biaya personal (biaya yangditanggung peserta didik) menjadi inisiatif dan tanggung jawab daripemerintah lokal. Dengan model pendanaan seperti itu diharapkan rakyatkurang mampu alias miskin tidak lagi dibebani berbagai pungutan atauiuran dana pendidikan.
Jika mencermati kasus penyelewengan dana BOS di berbagai tempat itu,terlihat sekali betapa sekolah dan komite/dewan sekolah tidak memahamiharapan pemerintah pusat maupun daerah. Dengan kata lain, demikepentingan pihak sekolah—maupun oknum tertentu—rela merampas hak sertamembebani rakyat. Benar pungutan melalui komite sekolah yang sifatnyasukarela dibolehkan, tetapi tidak lantas mencari-cari “proyek” agarbisa menarik dana dari siswa. Misalnya alat-alat atau perabot sekolahyang sebenarnya masih bisa dipakai, tetapi diganti yang baru. Mestinya,sekolah membuat skala prioritas serta melakukan perencanaan yang matangdalam alokasi pembiayaan pendidikan, sehingga siswa miskin tidak selaludijadikan korban, tetapi justru dibantu kepentingannya.
Akuntabilitas
Model baru penyaluran dana Bos yang diterapkan Kemendiknas ternyatamemang menimbulkan problem baru, utamanya masalah keterlambatan.Disinyalir juga terjadi banyak pungutan liar yang dilakukan oknum pemdasetempat dengan alasan administrasi pencairan dana BOS, ketidakmerataanpenyaluran, dan sebagainya.
Guna mengawal model baru penyaluran dana BOS, serta untukmeminimalisasi terjadinya penyimpangan—untuk tidak mengatakanpenyelewengan—dana BOS, tampaknya masyarakat bersama stakeholderpendidikan perlu melakukan langkah-langkah urgen, di antaranya:Pertama, kepala daerah harus berani bertindak tegas apabila terdapatjajaran kepala sekolah yang melakukan penyimpangan dana BOS. Sebagaicontoh, di Sulawesi Selatan (Sulsel) beberapa kepala sekolah dikenaisangsi hukuman oleh pemda setempat, lantaran terbukti melakukan punglidan iuran kepada siswa.
Kedua, pengawas sekolah dibantu para guru memantau dengan cermat danteliti penggunaan dana BOS, khususnya yang dikelola sendiri oleh kepalasekolah. Di samping untuk menjamin transparansi dan akuntabilitas,tidak menutup kemungkinan dana BOS bisa menjadi sumber korupsi bagikepala sekolah.
Ketiga, Pemda harus mengoptimalkan potensi pengawas sekolah. Denganoptimalisasi peran pengawas, diharapkan tidak ada lagi oknum-oknum yangberani bermain dengan dana BOS—yang notabene untuk siswa danpembangunan sekolah. Itu artinya, pengawas sekolah tidak lagi hanyasekali-sekali mengawasi sekolah, tapi harus kontinu; bila perlu sekalisebulan, atau dua kali dalam sebulan. Untuk tugas ini, Dinas Pendidikan(Disdik) juga harus menempatkan orang yang tepat bukan asal tunjuk (theright man).
Keempat, di tingkat Disdik harus dibentuk tim yang bertugasmenghimpun data pengawasan distribusi BOS baik dari pemda ke sekolah,maupun dari sekolah ke anak didiknya. Dengan dibentuknya tim ini,diharapkan tingkat terjadinya penyimpangan bisa diperkecil ataudiminimalisasi. Lebih dari itu, orientasi dana BOS akan terlihat jelas,yaitu untuk peningkatan mutu pendidikan, bukannya memfasilitasikepentingan oknum atau kelompok tertentu.
Pada akhirnya, niat baik pemerintah merealisasikan programpendidikan gratis bagi rakyatnya, harus didukung dan diapresiasi secarapositif. Maka, pemerintah lokal hingga jajaran sekolah harus transparandan akuntabel dalam mengelola dana BOS. Tujuannya agar penyaluran danaBOS bisa tepat pada sasaran, sehingga semua rakyat kurang mampu bisamemperoleh kesempatan mengenyam pendidikan, tanpa terbebani kewajibanmembayar biaya pendidikan. Semoga. .

Oleh Agus Wibowo
Mahasiswa Program Pascasarjana Universitas Negeri Yogyakarta
sumber : dari sini

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Kritik dan saran serta komentar positiv sangat kami harapkan. Siapapun anda boleh memberikan komentar, kami tunggu yah !!!!