Alasan klasik orang berpacaran sebelum
memasuki jenjang pernikahan adalah untuk mengenal lebih dekat calon
pasangan. Selain untuk mencoba saling memahami karakter dan kualitas
pasangan, konon pacaran dapat dijadikan sarana untuk proses adaptasi
yang lebih intens sebelum menikah. Sehingga, masing-masing pasangan
lebih siap secara dini atas semua kelemahan dan kelebihannya.
Pertanyaannya, percayakah anda terhadap teori itu?
Bagi penulis, pacaran tidak dapat dijadikan
ukuran untuk mendalami karakter dan kualitas pasangan secara mendalam.
Tahukah anda, bahwa pacaran itu ternyata hanya mampu mengantarkan para
pelakunya untuk mengenali informasi tentang pasangan sebatas pada level
permukaan. Bagi yang sudah berpengalaman, tentu memiliki jawaban sama
dengan penulis. Betapa tidak, ketika berpacaran –dalam batas yang
wajar—yang diperlihatkan dari sikap, perilaku, dan karakter
masing-masing pasangan mungkin hanya 20-40 persen. Sisanya, antara 60-80
persen, sikap, perilaku, dan karakter aslinya masih disimpan
rapat-rapat.
Artinya,
masa-masa pacaran, sejatinya masa-masa dimana para pelakunya lebih
banyak bersandiwara, penuh dengan kepura-puraan. Masing-masing berlomba
untuk mengenakan topeng setebal mungkin. Dapat dikatakan, bahwa orang
yang berpacaran sesungguhnya sedang memerankan sifat munafik, karena
semua kelemahan diri berusaha ditutupi. Masing-masing menginginkan untuk
tampil yang baik-baik, enak-enak, dan menyenangkan. Sedangkan yang aib,
kelemahan, dan sikap negatif lainnya ditutup rapat-rapat.
Lain ceritanya jika mereka sudah menikah. Di masa
pacaran, karakter asli masih bisa ditutupi karena intensitas pertemuan
masih belum optimal. Paling-paling ketemu 1 kali sampai 3 kali dalam
seminggu, plus komunikasi lewat HP, Facebook, atau email. Artinya,
selama mereka berpacaran, masih banyak ruang dan waktu untuk menyimpan
keburukan atau kelemahan masing-masing. Namun, ketika semua telah
menjadi halal dan pertemuan yang sangat intens dalam wadah pernikahan,
hidup satu rumah, bertemu setiap hari dengan emosi yang begitu dekat,
menyebabkan apa-apa yang selama ini terpendam selama pacaran muncul satu
persatu ke permukaan.
Ketika
masa berpacaran nampak sikap-sikap lemah lembut, sayang, romantis dan
royal. Namun ketika mereka telah menikah, watak aslinya keluar satu demi
satu. Kenapa? Karena, lembaga pernikahan membuat suasana menjadi tidak
ada tabir apapun antara suami dan isteri. Ibaratnya, masing-masing
memandang di ruang etalase yang dapat dilihat dari semua
sudutnya. Di sinilah kemudian muncul kejenuhan, kejengkelan, dan
kebosanan yang sering menimbulkan perilaku-perilaku negatif. Yang
dulunya nampak lembut, ternyata kasar, yang dulunya nampak sayang
ternyata cuek, yang dulunya nampak romantis ternyata dingin, yang
dulunya nampak royal ternyata pelitnya minta ampun. Apalagi kalau
nikahnya sudah lama, sepertinya tidak ada hal yang menarik lagi. Cerita
yang manis-manis seperti terkubur oleh ingatan-ingatan negatif. Dan
dalam banyak kasus, terjadi perselingkuhan, percekcokan, bahkan
perceraian. Nah!
Kenapa
hal ini bisa terjadi? Karena masa pernikahan adalah masa dimana setiap
pasangan harus menyatu dalam ruang batin yang diikat dalam satu
perjanjian. Suami isteri adalah dua sosok manusia yang berbeda. Karakter
beda, sikap beda, perilaku beda, kebiasaan beda, isi kepala beda,
kecenderungan hati beda, dan kualitas iman pun beda. Jadi, nyaris tidak
ada persamaan apapun antara satu dengan lainnya. Mungkin yang bisa
mempertemukan adalah kebiasaan atau hobby. Sehingga, ketika
semua perbedaan itu dipaksa bertemu dalam satu wadah yang bernama rumah
tangga, maka disinilah titik problem rumah tangga menemui hakikatnya.
Karenanya, pada posisi ini, faktor komunikasi sebagai ruang adaptasi
bagi setiap pasangan rumah tangga menjadi sangat penting.
Bagi pasangan baru, dan juga pasangan lama
sekalipun, faktor terpenting dalam biduk rumah tangga adalah adaptasi.
Adaptasi harus dilakukan secara terus menerus, hingga pada titik
tertentu masing-masing pasangan dapat menerima atas segala kelemahan dan
kelebihan. Meski harus berangkat dari perbedaan yang memang benar-benar
beda, namun bukan berarti adaptasi tidak dapat dilakukan. Diantara
beberapa perbedaan yang memerlukan adaptasi secara kontinyu adalah
karakter (watak), kepribadian (personality), latar belakang
budaya (culture), status sosial (social class),
tingkat pendidikan (education), kebiasaan, hobby, kecenderungan
ide (cita-cita), dan lain sebagainya.
Dari semua perbedaan tersebut, dapat dibayangkan
bagaimana jadinya jika kedua atau salah satu dari pasangan keluarga
tidak dapat melakukan, atau gagal dalam beradaptasi antara satu dengan
yang lain. Sebagai manusia biasa, tentu pada saat tertentu, pasangan
suami isteri akan menemui satu masalah yang menyebabkan mereka
berselisih paham, atau bahkan mereka bertengkar. Sebagai contoh, soal
penyikapan terhadap kenakalan anak. Seorang isteri yang lebih intens
bertemu dengan anak-anak menginnginkan mereka lebih bisa memahami
ibunya. Kalau tidak bisa, anak-anak sering mendapat bentakan atau bahkan
pukulan dari sang ibu. Sementara sang suami melihat, anak-anak itu
masih dalam masa pertumbuhan, maka sebagai orang tua harus terus
mendorong, memberikan stumulus secara terus menerus, sehingga mereka
harus didekati secara lebih manusiawi dan tidak harus dimarahi. Dari
perbedaan cara pandang ini, hampir pasti dapat memicu konflik dalam
antara suami dan isteri, bahkan dapat menimbulkan pertengkaran.
Oleh karena itu, dari semua perbedaan
menyangkut karakter (watak), kepribadian (personality), latar
belakang budaya (culture), status sosial (social class),
tingkat pendidikan (education), kebiasaan, hobby,
kecenderungan ide (cita-cita), dan lain sebagainya perlu dicarikan titik
temu yang menjadikan suami dan isteri dapat menerima. Mereka harus
menyepakati pada titik mana mereka harus berdamai. Istilahnya, jika satu
pihak berada pada posisi 7, sedangkan pihak lain pada posisi 5, maka
yang lebih tinggi harus menurunkan 1 point, dan yang lebih rendah harus
menaikkan 1 point, sehingga masing-masing bertemu pada posisi 6. Tentu
ini memerlukan keseriusan. Artinya, jalan kompromi harus dilakukan.
Karena kompromi adalah satu jalan ideal untuk mencapai kebersamaan.
Kalau terpaksa tidak dapat berkompromi, maka satu hal yang perlu
diperhatikan adalah saling memahami, tidak boleh saling meremehkan, dan
saling meniadakan.
Urgensi Adaptasi
Keluarga Sakinah
Orang
yang pertama kali mengenalkan model konsep adaptasi adalah Suster
Callista Roy (1969). Konsep ini dikembangkan dari konsep individu dan
proses adaptasi dengan asumsi bahwa: manusia adalah keseluruhan dari
bio-psikologi dan sosial yang terus-menerus berinteraksi dengan
lingkungan; manusia menggunakan mekanisme pertahanan untuk mengatasi
perubahan-perubahan bio-psikososial; setiap orang memahami bagaimana
individu mempunyai batas kemampuan untuk beradaptasi dengan memberikan
respon terhadap semua rangsangan baik positif maupun negatif; dan setiap
manusia memiliki kemampuan adaptasi berbeda-beda antara satu dengan
yang lainnya, jika seseorang dapat menyesuaikan diri dengan perubahan,
maka ia mempunyai kemampuan untuk menghadapi rangsangan baik positif
maupun negatif.
Dalam
hubungannya dengan kehidupan rumah tangga sakinah, pastinya memerlukan
proses adaptasi yang intens. Setiap pasangan memiliki tingkat
keberhasilan yang berbeda-beda, tergantung bagaimana masing-masing
memiliki kemampuan dalam menyesuaikan antara satu dengan lainnya. Ada
yang cepat, lambat, bahkan gagal di tengah jalan karena ketidakmampuan
keduanya atau salah satunya dalam menerima setiap perbedaan yang memang
tidak mungkin disamakan. Pertanyaannya, sampai kapan proses adaptasi
berlangsung? Yaitu, sampai ketika masing-masing telah menemukan titik
temu dari setiap perbedaan dalam hubungan sosialnya. Jika masing-masing
telah mengetahui peta perbedaannya, maka disinilah letak kemampuan orang
diuji untuk merespon, memahami, menerima atau menolaknya.
Oleh karena itu, urgensi adaptasi dari
seorang suami dan isteri yang menduduki peran penting dalam pembinaan
keluarga sakinah dapat dijelaskan sebagai berikut, yaitu: Pertama,
bahwa adaptasi adalah proses sosial yang harus disadari oleh setiap
suami dan isteri. Tidak ada istilah “barang jadi”dan langsung pakai.
Artinya, setiap orang memiliki kepribadian yang unik (khas), sehingga
antara satu dengan yang lain perlu kerelaan untuk saling berbagi ego
agar terjadi interaksi sosial yang dinamis dan produktif. Jika keduanya,
atau salah satunya kuekueh dengan ego negatifnya, maka yang
akan terjadi adalah pertarungan sosial dimana antara satu dengan yang
lain saling mengalahkan. Ujung dari ini semua adalah pertengkaran dan
perpecahan yang sangat tidak diinginkan. Intinya, adaptasi membutuhkan
sikap legowo atau mau menerima atas segala keunikan
personal.
Kedua, dalam upaya mencapainya, adaptasi tidak secara
otomatis dapat terjadi tanpa ada upaya masing-masing pihak untuk
berkompromi demi tujuan bersama dalam membangun rumah tangga yang sakinah
mawaddah warahmah. Tentu, setiap proses itu tidak selalu berjalan
linier, tetapi ada dinamika dan gejolak. Meminjam istilah psikologi, ada
stimulus dan respon yang memiliki kualitas berbeda-beda bagi setiap
orang. Oleh karena itu, agar proses adaptasi berhasil, diperlukan
kemampuan dalam menggunakan ilmu, mengoptimalkan iman, mengendalikan
ego, dan memanfaatkan pengalaman hidup. Maka teruslah belajar tentang
kehidupan, janganlah berhenti untuk menjadi lebih baik.
Ketiga, dengan adaptasi, kita dituntut untuk tidak
memiliki perasaan sempurna dalam diri kita, karena masing-masing orang
membawa kelemahan dan kelebihannya. Syukurilah kelebihan apapun,
meskipun kecil. Manusia diciptakan oleh Tuhan memang disebut sebagai
“penciptaan terbaik” atau ahsan al-taqwim, namun manusia
memiliki beban tugas yang tidak ringan untuk memelihara harmoni dalam
kehidupan di dunia. Meski fitrah manusia adalah baik, namun di dalam
dirinya memiliki potensi fujur (negatif) dan taqwa
(positif). Sebagai makhluk yang ditugaskan sebagai khalifah di
bumi, manusia telah diberi keleluasaan menggunakan kelebihan akal dan
hatinya untuk digunakan secara optimal untuk memperoleh hasil yang
sempurna (liyabluwakum ayyukum ahsanu amala, QS: al-Mulk: 2).
Jika ada kesalahan, maka bersegeralah meminta maaf, bagi yang merasa
“disalahi” dan sudah dimintakan maafnya, maka segeralah memaafkan. Wallahu
a’lam bish-shawab■
(Thobib
Al-Asyhar, Tim Penyusun Pidato Menag RI, Pemimpin Jurnal
Psikologi Islam AN-NAFS, Pascasarjana UI, dan Kandidat Doktor Bidang
Islamic Studies Konsentrasi Psikologi Islam, UIN Jakarta).
sumber : ditjenbimasislam
sumber gambar : di sini
Dengan dasar tujuan yang sama. insya Allah bisa membuat organisasi keluarga dengan baik dan bisa diawali dengan adaptasi yang baik pula. Info yang bagus... Tetap semangat ya....
BalasHapusIslam membenarkan bila ketika seorang memilih
BalasHapuspasangan hidup untuk mengetahui hal-hal yang tersembunyi yang tidak mungkin diceritakan langsung oleh yang bersangkutan. Maka dalam masalah ini, peran orang tua atau pihak eluarga
menjadi sangat penting.
Inilah proses yang dikenal dalam Islam sebagai ta`aruf. Jauh lebih bermanfaat dan objektif
ketimbang kencan berduaan. Sebab kecenderungan pasangan yang sedang kencan adalah menampilkan
sisi-sisi terbaiknya saja.
Salam hangat dan sukses selalu buat Abi.
Semoga saja saya bisa menyempatkan diri mampir disini.
BalasHapusSalam hangat untuk rekan seprofesi, Pahlawan Pembangun Insan Cendekia.
Salam kenal, syukron ats tausiyahnya
BalasHapusSetiap pasangan tentu mendambakan keluarga yang sakinah mawaddah wa rahmah. Oleh karena itu caring an sharing harus selalu ditumbuh-suburkan.
BalasHapusSelamat atas blog baru ini-semoga bermanfaat bagi pengelola dan pengunjungnya.
Salam hangat dari BlogCamp
Terima kasih artikelnya yang menambah wawsan saya.
BalasHapusPacaran hendaknya secara Islami agar terjaga dari hal-hal yang melanggar norma.
Assalamu ‘alaikum wr.wb
Pakde,
Saya datang sebagai blogger newbie yang ingin berkenalan, silaturahmi dan menyerap ilmu dari para senior. Semoga kunjungan saya bermanfaat.
Pakde, mohon berkenan berkunjung ke blog saya, mohon diberikan saran2 atau nasihat agar blog tersebut bagus dan terkenal seperti blog pakde ini. Saya tunggu pakde, kalau datang akan saya sambut dengan lagu rebana deh.
Salam hormat saya dari Batam.
Wassalamu alaikum wr.wb
Annaura
Keluarga sakinah mawaddah wa rahmah memang menjadi dambaan setiap muslim pakde.
BalasHapusSalam hormat dari Batam Pakde