REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA--Makna
sekolah gratis bagi kelompok miskin di Indonesia tidak jelas dan
multitafsir sehingga pelaksanaannya tidak efektif, demikian diungkapkan
Pusat Telaah dan Informasi Regional."Tidak jelas mandat mengenai gratis
bagi warga kelompok miskin di Indonesia", kata Direktur Eksekutif
Pusat Telaah dan Informasi Regional (PATTIRO) Ilham Cendekia Srimarga,
dalam seminar nasional yang bertema "Akuntabilitas Sekolah: Solusi
Alternatif untuk Menjamin Akses Siswa Miskin terhadap Pendidikan Dasar
Bermutu" di Jakarta, Rabu.
Ilham mengatakan bahwa makna gratis ternyata
memiliki multitafsir, selain itu juga terdapat perbedaan implementasi
dan tidak efektif. "Dalam praktek di lapangan, berbeda-beda
implementasinya dan di sebagian tempat tidak efektif, sehingga masih
banyak warga miskin yang anak-anaknya tidak dapat bersekolah" katanya.
Menurutnya hal itu disebabkan sekolah yang
mendapat dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS) hanya mengejar
kepercayaan formalitas kepada pemerintah saja, bukan kepercayan publik.
"Sekolah kebanyakan mengejar fomalitas supaya sekolahnya bisa mendapat
biaya tersebut lagi, bukan kepercayaan yang membuat masyarakat percaya
sepenuhnya kepada sekolah," kata Ilham.
Sesuai Undang-Undang Sistem Pendidikan
Nasional (Sisdiknas) Pasal 39, anggaran pendidikan , diluar gaji
pendidik dan jasa, dialokasikan sebesar 20 persen dari APBN dan APBD.
Sebenarnya sudah bisa membantu warga miskin dapat memperoleh
pendidikan, tetapi faktanya tidak. "Dana dari pemerintah semakin besar,
tetapi pungutan terhadap orangtua siswa juga tidak berkurang," kata
Anggota Komisi X DPR RI Hetifah Sj. Siswanda.
Dia merasakan beratnya biaya pendidikan yang
harus ditanggung, padahal anggaran negara yang didapat untuk bidang
pendidikan sangat besar. "Menurut saya, jika bisa dialokasikan dengan
tepat dan diawasi pemerintah, anggaran untuk biaya pendidikan sudah
cukup untuk membuat program pendidikan yang kita inginkan," kata
Hetifah yang juga memiliki empat orang anak.
ICW juga mengungkapkan bahwa label
internasional pada sekolah hanya sebagai legitimasi untuk sekolah
melakukan pemungutan biaya terdapat siswa. "Label sekolah internasional
hanya sebagai legitimasi pemungutan biaya kepada siswanya," kata Ade
Irawan dari ICW.
Padahal menurut Walikota Jogjakarta H.Herry
Zudianto, kondisi tersebut sangat mempengaruhi nilai prestasi dari
siswa. "Ada perbedaan NEM prestasi siswa miskin dengan siswa kaya,
karena dari kesempatan akses belajar pun siswa miskin memiliki
kesulitan, bagaimana mereka bisa bersaing dengan siswa kaya" kata
Herry, yang pernah mendapat penghargaan dari pemerintah karena berhasil
menuntaskan wajib belajar sembilan tahun di daerahnya.
Menurut Herry, hambatan terbesar pada
peningkatan mutu pendidikan di Indonesia adalah biaya, faktor biaya
adalah yang menjadi penentu kewenangan. "Ada uang sekolah, tidak ada
uang tidak bisa sekolah," katanya.
Karena biaya jugalah yang merupakan alasan
sekolah tidak menerima siswa miskin dengan alasan keterbatasan biaya.
"Hendaknya pemerintah mengawasi langsung pemberian dana yang dialirkan
langsung ke sekolah-sekolah," kata Herry.
Sumber : Republika.online
Terimakasih share postnya..
BalasHapusSukses selau